"Pentingnya Romantisme Dalam Perkawinan" |
Pentingnya Romantisme Dalam Perkawinan - Salah besar kalau menganggap romantisme hanya milik muda-mudi yang tengah di mabuk cinta. Pasangan suami istri pun wajib memelihara romantisme, tanpa memandang berapa lama sudah menikah. Ingin tahu cara memelihara keromantisan itu? Berikut rangkuman Theresia Puspayanti.
Menurut psikolog, Rieny F. Hasan, dalam teori cinta, romantisme masuk dalam kategori passionate love. Romantisme merupakan serangkaian aksi nyata imtuk merefleksikan rasa cinta dan kepedulian pada satu sama lain. Kenyamanan psikologis, dan kepedulian untuk saling memperhatikan kebutuhan pasangan merupakan hal utama yang menyangga passionate love selain kedekatan fisik.
Ketiga elemen inilah yang membuat romantisme tetap bisa dirasakan oleh masing-masing pihak, sekalipun tengah berjauhan atau tidak sedang bersama-sama. Dengan kata lain, mustahil mempertahankan roman-tisme perkawinan jika suami istri tak lagi saling peduli dan tak lagi saling memiliki kebutuhan untuk berdekat- an secara fisik. Banyak prasyarat yang dituntut untuk bisa membangun romantisme. Kejujuran salah satunya. Omong kosong kalau suami istri ber- harap bisa membangun romantisme dalam rumah tangganya, sementara di saat bersamaan salah satu atau bahkan keduanya saling mengumbar kebohongan. Tanpa kejujuran, yang ada dalam perkawinan hanyalah kepalsuan dan kemunafikan.
Bisa saja di depan publik mereka terlihat romantis, obral kemesraan dengan saling menyapa menggunakan sebutan honey atau darling. Namun, itu semua hanya bersifat artifisial karena di luar bukan tidak mungkin masing-masing punya tambatan hati. Secara psikologis, relasi suami istri seperti ini tentu saja tidak sehat. Apalagi ditambah dengan kegemaran memendam amarah dan membiarkan konflik berkepanjangan.
ESENSI PERKAWINAN
Sejatinya, romantisme sebagai bentuk perwujudan kepedulian satu sama lain menjadi esensi sebuah perkawinan. Bila kepedulian hanya muncul sepihak dalam arti yang bahagia hanya suami atau istri, relasi mereka pasti hanya atau istri, relasi mereka pasti hanya mengedepankan azas pemanfaatan. Seyogianya suami istri harus bersedia untuk melakukan refleksi diri, apa komitmen mereka saat memasuki gerbang perkawinan. Termasuk mempertanyakan kembali niat sewaktu memutuskan untuk melangsungkan perkawinan. Sebatas memenuhi target, cemas dikejar usia, cari amannya saja, sekadar menutup malu, atau memang benar-benar tulus mencintai pasangan.
Selanjutnya, jabarkan komitmen tadi dalam keseharian, berupa langkah-langkah nyata yang harus mereka upayakan agar perkawanan langgeng, yakni harus senantiasa mencoba memahami pasangannya sekaligus menjadikan pasangan sebagai pusatperhatian atau centre of attention. Pemahaman inilah yang semestinya menjadi akar dari terciptanya kepedulian dan romantisme. Sayangnya, begitu perkawinan diramaikan oleh kehadiran si buah hati, umumnya perhatian dan waktu istri seolah terkuras habis hanya tertuju pada si kecil. Akibatnya? Suami jadi merasa terabaikan. Coba perhatikan, begitu banyak istri yang beralasan tak punya waktu lagi untuk suami gara-gara repot ngurus anak. Mungkin kita salah satunya.
Padahal, alasan klise ini sama saja dengan mengumumkan pada dunia bahwa sejak kehadiran si Kecil, suami tak lagi masuk hitungan alias berada di luar skala prioritas istri. Mendapat perlakuan begini tentu saja suami tak mengikutsertakan si Kecil, kedekatan hubungan suami-istri tak akan terbangun karena sebentar-sebentar ada gangguan teknis berupa teriakan dan rengekan si Kecil. Kesalahan semacam ini bukan hanya monopoli istri, kok. Banyak juga para ayah yang terlalu mengistimewakan anak hingga mengabaikan istri. Padahal, sebagai orangtua kita tidak dibenarkan menciptakan ketergantungan mutlak dalam diri anak kepada ayah ibunya. Pentingnya Romantisme Dalam Perkawinan -“Selain tak baik dampaknya bagi perkembangan si anak sendiri, romantisme sebagai pasangan suami istri juga akan menguap entah ke mana dengan beijalannya waktu.
SEDIAKAN WAKTU KHUSUS
Sekali lagi Ricny menegaskan, apa pun permasalahan dan bagaimana pun kondisi masing-masing rumah tangga, suami istri tetap harus punya waktu bagi pasangan. Bahkan harus sengaja menyediakan waktu khusus berdua. Di sinilah pentingnya pengaturan waktu yang selamanya akan tetap sama buat semua orang, yakni 24 jam sehari. Apakah mau mengalokasikan waktu khusus selama 1 atau 2 jam setiap hari bersama pasangan, silakan saja sepakati bersama. Yang terpenting bukan kuantitasnya, melainkan bagaimana pemanfaatan waktu yang ada tersebut secara berkualitas.
Perlu digarisbawahi juga bahwa perhatian kepada anak dan pasangan merupakan dua hal yang jelas-jelas berbeda. Terhadap anak, orang tua wajib membantu agar mereka tumbuh baik. Antara lain dengan mengupayakan pengasuhan dan pendidikan yang maksimal. Sementara kepada pasangan, perhatian lebih diarahkan pada pemenuhan kebutuhan pasangan akan kenyamanan psikologis. Caranya dengan mengamati dan mengikuti perubahan yang terjadi secara cermat. Sekaligus senantiasa mensejajarkan diri dan menyamakan langkah agar tetap senada seirama.
Meski perannya sedemikian penting, memelihara romantisme suami-istri tidak bisa berdiri sendiri. Harus diupayakan bersamaan dengan membina komunikasi yang baik. Jika tidak, komunikasi di antara suami-istri bisa tak nyambung lagi. Keinginan suami mengajak makan malam di luar atau membelikan hadiah di hari-hari istimewa, contohnya, malah dicuri- gai istri sebagai bentuk penyuapan atas kesalahan yang telah dilakukan suami. Niat baik yang tidak terkomunikasikan ini tentu saja akan menyisakan suasana tak enak yang akan berkembang menjadi konflik. Padahal konflik yang tak terselesaikan pastilah berpotensi menjadi batu sandungan.
Meski perannya sedemikian penting, memelihara romantisme suami-istri tidak bisa berdiri sendiri. Harus diupayakan bersamaan dengan membina komunikasi yang baik. Jika tidak, komunikasi di antara suami-istri bisa tak nyambung lagi. Keinginan suami mengajak makan malam di luar atau membelikan hadiah di hari-hari istimewa, contohnya, malah dicurigai istri sebagai bentuk penyuapan atas kesalahan yang telah dilakukan suami. Niat baik yang tidak terkomunikasikan ini tentu saja akan menyisakan suasana tak enak yang akan berkembang menjadi konflik. Padahal konflik yang tak terselesaikan pastilah berpotensi menjadi batu sandungan.Perkawinan yang mumi tanpa konflik justru patut dipertanyakan karena besar kemungkinan menyimpan segudang kepalsuan. Ingat, perkawinan tanpa konflik maupun perkawinan yang didominasi oleh konflik-konflik yang tak terselesaikan, sama-sama tak memiliki romantisme.
TAK HARUS MAHAL
Romantis sama dengan kemewahan yang harus dibayar mahal? Itu keliru. Jangan repot-repot mengartikan romantisme dengan canclle light dinner di restoran mewah, bermalam di hotel berbintang 5 berlian, atau tamasya ke ujung dunia, dan sejenisnya. Boleh- boleh saja janjian kencan di hari jadi, ulang tahun perkawinan, atau mengirimi pasangan hadiali di hari Valentine. Namun, sebetulnya setiap momen dalam keseharian bisa dimanfaatkan untuk membangun romantisme. Termasuk ketika terjebak dalam kemacetan atau saling meneguhkan saat menunggui anak yang tengah terbaring sakit. Begitu juga dengan tatapan penuh kekaguman, pujian tulus, apresiasi atas segala kebaikannya, memberi kehangatan dengan merengkuh bahunya atau menggandeng tangannya dalam genggaman.
Hal-hal “kecil” semacam itu sudah termasuk dalam romantisme karena merupakan ekspresi sayang dan kepedulian kita pada pasangan. “Selain itu, tak perlu juga mengartikan romantisme sebagai ajakan berintim-intim. Romantisme tak harus berakhir di ranjang, kok,” pesan Rieny.
Sumber Pentingnya Romantisme Dalam Perkawinan : Sekar
0 comments:
Post a Comment