"Belajar Menjadi Pasien Cerdas" |
Belajar Menjadi Pasien Cerdas - Sebagian pasien mengang-gap dokter “manusia setengah dewa” yang tidak mungkinsalah. Sebagian lainnya se-lalu berprasangka buruk dan menganggap dokter hanya mencari keun-tungan materi. Dua-duanya bukan tipe pasien yang bijak.
Majalah Time pernah memuat curhal Scott Haigh, seorang dokter orto-pedi di New York.Judulnya Wlien the Patient is a Googler. Seorang pasien mendatangi Scott dengan bekal informasi setengah matang yang ia peroleh dari mesin pencari Google. Scott menilai pasien itu cukup mengesalkan. Berbekal informasi yang salah, pasien Googler itu mendebat semua diagnosis dokter.
Scott ahirnya mengusir pasien itu secara haJus dengan menyarankannya pergi kc dokter lain. Itu di Amerika, bagaimana dengan di Indonesia? “Saya selalu membawa anak saya kc sini karena obatnya paten. Batuk anak saya cepat sembuh. Banyak kok pasiennya,” kata seorang ibu di ruang tunggu praktik dokter di Jakarta Selatan. Mungkin sangat banyak pasien di Indonesia yang melihat dokter dengan cara seperti ini. Cenderung pasif dan pasrah. Pulang dari dokter, pasien harus membawa sekantung obat. Justru dokter dianggap aneh kalau dia tidak memberi obat.
Kebiasaan pasien minta obat cespleng ujung-ujungnya membuat dokter dengan gampang mengobral obat, terutama untuk pasien anak-anak. Padahal Badan Kesehatan Dunia WHO menegaskan bahwa obat harus digunakan secara rasional. Rasional berarti bisa saja pasien tidak perlu diberi obat jika memang tidak diperlukan dan itu tanda kita mampu Belajar Menjadi Pasien Cerdas
Tak perlu ke dokter
Pasienyang tidak rasional cenderung membuat dokter juga tidak rasional. Tentunya untuk menilai rasional atau tidak, seorang pasien harus mempunyai pengetahuan yang cukup. “Kesehatan adalah tanggung jawab bersama dan tidak bisa menjadi tanggung jawab tenaga kesehatan saja," kata pendidik kesehatan masyarakat dr. Purnamawati Sp.A (K) M.MPaed. Sebetulnya banyak gangguan kesehatan anak yang tidak perlu dibawa ke dokter. Orangtua bisa menanganinya sendiri asalkan punya pengetahuan yang cukup. Contoh paling gampang adalah flu. Sebagian besar gejala ini tidak memerlukan obat. Hanya perlu perawatan di rumah.
Namun, umumnya orangtua gampang panik jika anaknya sakit. Sedikit-sedikit pergi ke dokter spesilalis anak. Apalagi orangtua berduit yang, dalam ungkapan Wati, “bisa pergi ke dokter tiga kali sehari". Begitu pulang dari dokter, anak-anak itu harus menenggak bermacam-macam obat, jaulh lebih banyak dari yang mereka butuhkan. Untuk menyebarkan kesadaran ini di kalangan pasien, Wati, bersa ma beberapa dokter koleganya dan para orangtua pasiennya, membuat program Pendidikan Kesehatan Anak untuk Orang Tua (PESAT). Program serupa kursus berkelan-jutan ini telah dilaksanakan di berbagai kota di Indonesia, bisa diikuti oleh siapa pun, termasuk orang yang paling awam terhadap urusan medis. “Sekolah buat dokter sudah banyak. Sekolah buat pasien belum ada. Padahal kalau pasiennya pintar, doktemya pasti senang,” Wati menambahkan. Di PESAT, para orangtua dididik agar bisa mengatasi anak demam, flu, batuk, diare, dan penyakit-penyakit langganan anak lainnya. Di sini mereka dilatih menjadi pasien cerdas dan bijak, bukan pasien "Googler” sok pinter yang suka membantah dokter. "Menjadi orang tua cerdas adalah wujud cinta kasih kita kepada anak,” kata Wati.
Sumber Belajar Menjadi Pasien Cerdas: Intisari
0 comments:
Post a Comment